Langkah yang
melambat, fisik yang makin renta dan pendengaran yang makin berkurang tak
membuatnya berhenti melangkahkan kaki
dari rumahnya di daerah Cipeuyeum, Cianjur menuju daerah kota Bandung untuk
berdagang asongan. Lelaki paruh baya berusia 82 tahun itu masih tetap tegar
menatap rezekinya dengan pandangan penuh optimisme.
Ayah dari 5
orang putri dan 2 orang putra ini berniat tak ingin menyusahkan anak-anaknya
dan lebih senang untuk mencari nafkah sendiri bagi dirinya dan juga istrinya
yang masih setia mendampinginya. Semua putra-putrinya sudah berumahtangga,
kelima orang putrinya tinggal bersama suami mereka dan bekerja sebagai ibu
rumah tangga, sedangkan dua orang putranya ada yang bekerja sebagai buruh
bangunan dan ada juga yang menjadi Tentara.
Lelaki bernama
Sulaiman ini bercerita tentang hidupnya yang pernah merasakan getir dan
pahitnya masa penjajahan Belanda dan masa penjajahan Jepang. Perjuangan yang
beliau lakukan ternyata masih belum usai sesudah bangsa ini merdeka. Beliau
masih harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami yang harus
menafkahi istri yang beliau nikahi.
Sungguh tak
terbayangkan dalam benak saya jika saya berada dalam posisi bapak Sulaiman
tersebut. Bukan tak ingin meneladaninya atau menjadi tua seperti beliau, akan
tetapi saya tak tahu hidup yang saya jalani kedepannya akan menjadi seperti
apa. Saya memang mempunyai cita-cita, keinginan dan rencana untuk menjadi
seperti ini dan itu, tapi yang namanya manusia hanya bisa berencana dan berbuat
yang terbaik saat ini saja.
Pernah saya
bertanya kepada beliau, “Bapak, naha teu
cape icalan asongan ti Cianjur ke Bandung?” (Bapak, ga capek jual asongan dari Cianjur ke Bandung?)
Beliau pun menjawab, “Ari cape mah cape, tapi ieu tos jadi kawajiban bapak. Lamun bapak teu icalan, di bumi bade tuang naon?”(Capek sih capek, tapi ini sudah jadi kewajiban saya. Kalau bapak ga jualan, di rumah mau makan apa?)
Beliau pun menjawab, “Ari cape mah cape, tapi ieu tos jadi kawajiban bapak. Lamun bapak teu icalan, di bumi bade tuang naon?”(Capek sih capek, tapi ini sudah jadi kewajiban saya. Kalau bapak ga jualan, di rumah mau makan apa?)
Saya : “Naha teu calik sareng putra bapak atuh?” (Kenapa ga tinggal sama anaknya?)
Bapak Sulaiman : “Bapak
mah alim nyusahkeun anak, salila bapak masih keneh bisa usaha sorangan mah
bapak mah mening usaha tina hasil sorangan.” (Bapak ga mau menyusahkan anak, selama saya masih bisa usaha sendiri, saya lebih baik berusaha dari hasil sendiri.)
Saya : “Ai bapak ngadamel nyalira tina icalan ieu
(asongan berupa potongan mangga, kacang tanah, telur puyuh, dll)?” (Kalo bapak bikin sendiri barang dagangan ini?)
Bapak Sulaiman : “Heunteu,
bapak mah nyandak ieu ti pabrikna. Mun ngadamel nyalira mah teu aya modalna.” (Tidak, saya ngambil ini dari pabriknya. Kalau bikin sendiri mah ga ada modalnya)
Saya : “Owh.. teras bapak gaduh bati sabaraha tina
hiji ieu teh? (sambil nunjuk barang dagangannya.)” (Owh.. terus bapak punya untung berapa dari satu bungkus ini?)
Bapak Sulaiman : “Ah
ngan sakedik, jang! Tina hiji ieu teh ti pabrikna diical Rp. 900,- ku bapak
diical deui Rp. 1.000,-.” (Cuma sedikit, nak! Dari satu bungkus dari pabriknya dijual Rp. 900,- sama bapak dijual lagi Rp. 1.000,-)
Dari percakapan
dan juga cerita di atas, sungguh tak bisa membayangkan jika hal itu terjadi
pada saya atau terjadi pada ayah saya yang sudah almarhum. Saya pun ketika
bertemu dengan bapak Sulaiman dan memiliki sedikit uang, saya membeli barang
dagangannya bukan dengan maksud atau bukan karena ingin memakan barang
dagangannya. Tapi, karena alasan tidak sanggup untuk membayangkan jika hal yang
seperti beliau alami juga dialami oleh almarhum ayah saya. Umur bapak Sulaiman
dengan almarhum ayah saya jika masih hidup mungkin tak berbeda jauh, karena
ayah saya pun lahir di tahun ‘30an yang notabene sezaman dengan beliau.
Hikmah yang saya
dapatkan dari beliau adalah bahwa ternyata orang-orang kecil yang ada didepan
kamu bisa jadi adalah orang yang besar dan terhormat dalam kehidupan nyata.
Selain itu, hikmah yang saya dapatkan adalah bahwa sedari muda mesti giat
bekerja, agar tua nanti bisa memanen hasil dari kerja keras yang ditanam sedari
muda.
0 komentar:
Posting Komentar