Translate

Mimpi dibentuk dari imajinasi dan kreativitasmu. Mimpi adalah cerita dari masa lalu atau keinginan yang kuat untuk masa depan. Jangan lelah untuk bermimpi, karena hidup berawal dari mimpi.

Jumat, 08 Juli 2011

Catatan Akhir Sekolah

Masa-masa Ujian Akhir Nasional (UAN) atau Ujian Nasional (UN) untuk SMP/Sederajat dan SMA/Sederajat serta Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk SD/Sedejarat memanglah sudah usai. Nilai hasil Ujian Nasional yang dahulu dikenal dengan sebutan NEM sudah diketahui dan dibagikan pada para siswa beserta Surat Keterangan Kelulusan-nya. Akan tetapi, Tahun Ajaran (T.A) 2010-2011 meninggalkan banyak cerita bagi Dunia Pendidikan di Indonesia pada umumnya dan pada saya sendiri khususnya.

Cerita pertama yang hadir di T.A 2010-2011 dimulai dengan perubahan kriteria kelulusan siswa. Jika pada T.A sebelumnya, kelulusan siswa dinilai 100% dari Hasil Ujian Nasional dan Sekolah tidak punya kewenangan meluluskan siswa yang Nilai Ujian Nasionalnya di bawah nilai yang ditentukan Pemerintah meskipun siswa itu adalah siswa yang sangat berprestasi di sekolahnya. Dan pada T.A ini, kelulusan tidak hanya berdasar pada Nilai Ujian Nasional saja akan tetapi juga dari Nilai Raport siswa selama 2,5 tahun ke belakang dengan prosentase 40% Nilai Sekolah yang diambil dari Nilai Raport dan 60% diambil dari Nilai Ujian Nasional. Itu artinya sekolah memiliki kewenangan meluluskan siswanya yang memiliki Nilai di bawah standar pemerintah.

Cerita kedua berasal dari sebuah sekolah negeri yang favorit di sebuah kota besar di Pulau Jawa (juga Indonesia) yang dimana siswa-siswa dari sekolah tersebut “ramai-ramai” berdatangan ke kantor polisi untuk melaporkan bahwa mereka telah kehilangan hal yang penting bagi mereka yaitu RAPORT yang akan digunakan sebagai bahan pertimbangan kelulusan mereka kelak. Ada yang beranggapan jika laporan kehilangan Raport tersebut hanyalah merupakan akal-akalan pihak sekolah supaya bisa “mengkatrol” nilai siswa-siswanya karena takut Nilai Ujian Nasional siswanya menjadi anjlok. Dan entahlah kenyataan yang sesungguhnya seperti apa, hanya pihak sekolah dan siswa yang melapor saja yang tahu kebenaran dari yang dilakukannya.

Cerita yang ketiga datang dari sebuah instansi yang bernama DINAS PENDIDIKAN di sebuah kota yang saya tinggali. Cerita ini saya alami sendiri dan cukup membuat saya kesal selama kejadian. Cerita ini bermula ketika Kepala Sekolah mendapatkan sebuah CD-R yang disinyalir didapatkan dari bagian administrasi di Dinas Pendidikan yang berisi tentang sebuah program untuk mengisikan Nilai Sekolah yang nantinya akan disetorkan ke Dinas Pendidikan Provinsi, karena SKHUASBN akan dicetak oleh Dinas Pendidikan Provinsi.
Pada saat saya memasukkan CD-R tersebut ke dalam DVD-RW yang ada di CPU lalu saya membuka dan mencoba menjalankan Program Pengisian Nilai tersebut, tiba-tiba alarm dari antivirus yang saya gunakan terus menyala dan tak mau berhenti sampai saya meng-close semua alarm dan mengeluarkan CD-R itu dari DVD-RW. Karena memang tak ada jalan lain, dengan sangat terpaksa saya meng-copy program tersebut ke dalam hardisk agar alarm tidak terus menyala. Dan Alhamdulillah, program tersebut bisa digunakan untuk mengisi Nilai Sekolah.

Akan tetapi, hasil yang saya dapatkan adalah CPU sekolah terjangkiti virus New Heur.Level 9 yang sangat sulit untuk dihapus. Virus ini menginduk di tiap partisi hardisk dan membentuk file yang berekstension *.exe atau *.pif atau *.inf. Bahkan setelah saya install ulang sendiri pun, virus itu masih tetap ada karena saya menggunakan program dalam hardisk yang sudah terinfeksi virus itu. Sampai pada akhirnya, saya pergi ke sebuah Pusat Komputer dan meminta untuk di-install ulang-kan kepada sebuah toko di pusat komputer tersebut. Kejadian itu benar-benar menguras pikiran, waktu dan uang hingga akhirnya saya marah-marah dan memaki-maki dalam hati Dinas Pendidikan tersebut. Ketika saya bertanya hal yang serupa pada teman guru (TU) di SD yang lain, ternyata mereka pun mengalami hal yang sama. Dan ketika mereka bertanya pada Dinas Pendidikan yang memberikan program tersebut, mereka berdalih bahwa komputer mereka bersih dari virus. Belakangan saya ketahui, jika komputer dari Dinas Pendidikan yang bermasalah itu akhirnya di-install ulang juga.

Cerita keempat merupakan cerita yang paling memalukan bagi Dunia Pendidikan di Indonesia pada umumnya dan para pendidik (guru) pada khususnya. Pertengahan Mei lalu, seorang anak yang bernama Alief mengadu pada ibunya bahwa dia (Alief) merasa dipaksa untuk memberikan contekan kepada teman-temannya oleh gurunya di sekolah. Ibunya yang bernama Siami kemudian mengadu kepada sekolah, karena kurang puas atas jawaban sekolah maka Ibu Siami pun mengadu pada Dinas Pendidikan sampai pada akhirnya berita ini menjadi meluas hingga tingkat Nasional.

Berita yang bertajuk “CONTEK MASSAL” ini benar-benar sangat memalukan bagi para pendidik serta bagi saya yang saat ini masih termasuk dalam bagian para pendidik. Rasa malu itu, bukan karena apa-apa tapi karena kemunafikan yang datang dari oknum guru yang sejatinya di sekolah mengajarkan siswanya untuk berlaku jujur akan tetapi pada saat penting seperti Ujian Nasional, kejujuran itu seolah dihilangkan. Seolah kelulusan dengan nilai yang tinggi adalah segalanya tetapi melupakan nilai-nilai moral yang telah mereka ajarkan pada siswanya. Hal seperti itu, seperti mencoreng muka seorang guru di hadapan para siswanya. Ketika GURU yang semestinya di-Gugu (dipatuhi) dan di-tiRU, tapi memberikan contoh yang kurang baik di depan siswanya sendiri.

Kasus contek massal ini jelas-jelas merupakan pembodohan terhadap siswa, karena nilai yang didapatkan oleh siswa bukanlah nilai yang didapatkan dari keringat dan otak mereka sendiri. Bahkan nilai seperti itu adalah nilai keegoisan dan nilai kebohongan.

Secara langsung, perbuatan contek massal memang tak merugikan siapapun bahkan menguntungkan dan sangat menguntungkan para pelakunya. Dan pebuatan itu memang tak bermaksud untuk merugikan pihak lain. Akan tetapi secara tidak langsung, perbuatan ini merugikan siswa-siswa yang berlaku jujur dan dengan rela kurang tidur untuk belajar dan menghapal demi Ujian Nasional yang hanya sekali dalam 6 tahun bagi SD, 3 tahun bagi SMP dan SMA. Dampak secara tidak langsung dari praktek contek massal ini adalah bahwa contek massal mampu mengkatrol nilai “passing grade” sekolah di suatu kota. Siswa-siswa yang jujur dan mendapatkan nilai lebih rendah dari passing grade berhasil terkalahkan oleh siswa yang mendapatkan bantuan contek massal dengan nilai di atas passing grade. Bahkan seorang guru ngaji di kampung saya sempat merasa heran, karena dua murid yang mengaji kepadanya punya hasil dan nilai yang berbeda. Jika si murid A belajar di sekolah B mendapatkan nilai C lebih rendah dari passing grade dan dengan terpaksa melanjutkan ke sekolah swasta, akan tetapi si murid D belajar di sekolah E dan mendapatkan nilai di atas passing grade lalu melanjutkan ke sekolah negeri. Akan tetapi dalam kesehariannya, si murid A jauh lebih pandai dan jauh lebih cepat mengerti dibandingkan si murid D.

Dari fakta di atas, yang menjadi korban tetaplah siswa. Siswa yang semestinya mampu bersaing di sekolah negeri menjadi terhalangi karena praktek curang contek massal. Sejujurnya, saya sudah cukup muak dan pusing dengan kasus contek massal dan yang bisa saya katakan hanyalah, “Bagaimana negeri ini akan maju, makmur dan sejahtera jika oknum pendidiknya saja sudah curang dan bermental bobrok seperti itu?”
 
* Judul ini terinspirasi dari film Catatan Akhir Sekolah.

0 komentar:

Posting Komentar

OhBelog!

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites