Nah, lo! Ini kabar paling mutakhir tentang cinta. Makanya, yang lagi pada PDKT atau lagi seneng-senengnya pacaran, kalian kudu baca bagian (dari buku Kenapa Harus Pacaran?!? Karyanya Rabi’ah Al Adawiyah) ini. Atau…. bagi kalian yang sudah terlanjur sumpah sumprit sama pasangannya kalau cinta kalian seabadi edelweiss!
Ini penemuan dari seorang antropolog asal AS, namanya Helen Fischer. Udah tahu dong, gimana dahsyatnya cinta? Bisa bikin orang jadi seneng dan terpacu kreativitasnya, jadi agak (salah tingkah), deg-degan, jadi lebih PD, he… he… he…
Nah, menurut Helen Fischer, reaksi romantis yang muncul saat terkena virus merah jambu, timbul karena bekerjanya sejumlah hormon yang diproduksi otak.
Tapi, gimana bisa sih, hormon dalam otak bekerja saat seseorang sedang jatuh cinta?
Sabaar.
Begini prosesnya. Mmm… saat kontak mata sedang berlangsung, pada saat itulah ada sebuah “kesan”. Ini dia fase pertama. Otak bekerja seperti sebuah komputer yang merekam sejumlah data dan mencocokannya dengan data sebelumnya. Karenanya, saat itu mulailah seseorang mencari-cari sebab ketertarikannya pada lawan jenis.
Fase kedua, muncul hormon “phenylethelamine” (PEA). Itulah makanya, saat ada kesan, tiba-tiba senyum pun terlontar. Tiba-tiba pula, pabrik PEA dalam otak mulai bekerja. Hormon “dopamine” dan “norepinephrine” yang juga terdapat dalam saraf manusia ikut nimbrung. Hormon-hormon inilah yang menjadi timbulnya gelora cinta. Tapi, setelah dua – tiga tahun, efektivitas hormon-hormon ini menjadi berkurang.
Fase ketiga, ini fase ketika cinta yang menggebu-gebu tadi mulai mereda. Yang tersisa hanyalah kasih sayang. Hormon “endorphins”, senyawa kimia yang identik dengan morfin, mengalir ke otak dan efek yang ditimbulkannya mirip dengan narkotika. Saat itulah, tubuh merasa damai, nyaman dan tenang.
Nah, ternyata daya tahan PEA itu cuma sekitar 4 tahun! Teori ini disebut Fischer, “four years itch” dan sebagaimana sebuah reaksi kimia, maka setelah itu gak berbekas lagi.
Memang sih, cinta nggak semata-mata muncul karena hormon saja. Tapi, banyak juga faktor social yang mempengaruhinya. Fischer, yang juga menulis buku Anatomy of Loe, menemukan bahwa kasus-kasus perceraian muncul ketika telah mencapai 4 tahun perkawinan. Kalaupun bertahan, pasti karena faktor-faktor lain.
Kalau pake hitung-hitungan, kayaknya asyik kali, ya! Misalnya, orang yang pacarannya 3 tahun, berarti kan cuma bisa bertahan setahun setelah menikah, hehehehe…. Kalaupun sampai lamaaa pacarannya, berarti pasti ada faktor-faktor lainnya. Menurut Diane Lie, seorang psikolog, orang yang usia pacaran atau kehidupan perkawinannya lama, bisa bertahan karena faktor friendship, pertemanan. Kalau dipikir-pikir dengan hokum Gossen, bukankah ketika manusia berusaha memenuhi kebutuhan akan sesuatu, maka lama kelamaan akan mengalami kebosanan? Dan bukankah cinta yang abadi hanyalah bersumber pada Sang Pemilik Keabadian? Zat yang akan menjaga cinta orang-orang yang dikehendaki-Nya yang berusaha menjaga kesucian cinta mereka?
Makanya, kalau yang masih pacaran sesumbar bahwa cintanya bakal abadi, hmmm…. Kayaknya perlu ditelaah lagi. Apalagi, ekspresi cinta – yang mungkin lebih dominant kepada nafsu pada usia muda – seharusnya dapat lebih indah dan agung dalam bingkai yang halal. Bukan begitu?












0 komentar:
Posting Komentar